Published in Medika, edisi Juni 2001. (Original site)
   
ESEI

Belajar Apa di Kepaniteraan?

MARTIN LEMAN

Selama kita ada di kepaniteraan alias di koas, kita belajar apa? Sebagian besar dari kita akan mengatakan bahwa kita belajar tentang berbagai penyakit, pengobatannya, segala macam pemeriksaan untuk mendiagnosa suatu penyakit, cara-cara penanganan suatu penyakit, dan sebagainya.

Benar. Itu semua memang benar. Tapi, menurut saya, ada hal lain yang sadar ataupun tak sadar kita pelajari. Sesuatu yang akan kita alami dan akan ikut membentuk kita menjadi manusia macam apa kelak. Apa yang saya maksud adalah belajar untuk hidup. Saya bukanlah seorang yang ahli atau mengerti banyak tentang filsafat hidup, tetapi di sini saya cuma ingin membagi pengalaman pribadi saya.

Dulu, ketika masuk koas pertama kali, sekitar dua tahun yang lalu, kepala saya penuh dengan bayangan bahwa saya akan belajar segala macam penyakit dan penatalaksanaannya. Akan tetapi, setelah beberapa lama saya menjalani kepaniteraan, saya merasakan banyak hal yang terjadi yang sama sekali tak ada dalam bayangan saya sebelumnya. Bahkan, saya merasakan bahwa belajar tentang suatu penyakit hanyalah sebagian kecil dalam proses belajar selama kita berada dalam periode kepaniteraan klinik. Lalu, selain belajar tentang penyakit dan pengobatannya, kita belajar apa? Ada begitu banyak aspek kehidupan yang dapat kita pelajari.

Belajar dari Pasien

Saya masih ingat saat pertama kali melihat pasien meninggal di depan mata saya. Pasien yang walaupun kita sudah berusaha menolong dengan berbagai cara selama beberapa hari, tetap tidak tertolong juga dan akhirnya meninggal. Kita memang tidak kenal dengan pasien itu secara pribadi, bahkan biasanya kali itu adalah perjumpaan kita pertama kalinya dengan dia. Bagi sebagian dari kita (semoga anda tidak termasuk), akan menganggap kasus ini hanya sebagai "seorang laki usia 60 tahun, masuk dengan keluhan utama..., keluhan tambahan..., keadaan umum..., dst hingga akhirnya ... dengan diagnosa kerja ... rencana terapi.....". Dan ... pembahasan selesai. Titik.

Tapi, pernahkan kita terlintas bahwa misalnya ia adalah Bapak Anton, 60 tahun, seorang suami, seorang ayah, dan seorang kakek dari sebuah keluarga. Seorang yang berjuang hari demi hari untuk hidup dengan segala macam persoalannya. Seorang manusia yang juga memiliki perasaan dan emosi, harapan akan hidup, serta seseorang yang mengharapkan pertolongan dari para dokter dan dokter muda untuk mengatasi penyakitnya, atau paling tidak mengurangi kesakitannya.

Salah seorang dosen yang mengajar saya pernah mengatakan bahwa kita harus bertindak dengan profesional dan memperlakukan para pasien sebagaimana seandainya pasien itu adalah keluarga kita sendiri. Saya yakin bahwa kalimat ini tidak asing dan bukan pertama kali kita dengar. Tetapi, apakah kita pernah benar-benar membayangkan hal itu? Apa yang akan kita harap dari para dokter bila pasien yang sedang dirawat adalah saudara kita sendiri?

Bayangkan jika suatu saat kita sendiri yang sedang terkena musibah (mudah-mudahan tidak pernah). Suatu keadaan yang mengharuskan kita membawa orangtua kita ke rumah sakit yang isinya koas-koas (dokter muda). Kita tak dapat membawanya ke RS Pluit, atau RS Graha Medika, atau RS Medistra, atau rumah sakit lain yang mewah. Apa yang kita harap dari koas-koas itu? Apa yang akan dirasakan bila kita tahu bahwa orangtua kita tidak diperiksa dengan sungguh-sungguh karena koas yang menerima di bangsal tidak mau berlama-lama dan ingin segera bisa tidur lagi? Apa yang kita rasakan bila kita tahu bahwa koas yang menerima orangtua kita tidak melaporkan keadaan sesungguhnya kepada dokter konsulen, karena sang koas ketakutan kalau dimarahi oleh dokter konsulen itu? Apa yang kita rasakan bila tahu bahwa orangtua kita tidak diperiksa sungguh-sungguh (dan status hanya diisi dengan "nyanyian rutin" saja) karena sang koas sedang sibuk belajar untuk persiapan ujian?

Salah satu argumen para koas (termasuk saya kadang-kadang) untuk pertanyaan di atas adalah, "Ah... Dokter X juga begitu kok ke pasien". Atau, kadang kala juga terucap, "Ah... dari dulu seniornya juga begitu kok".

Rasanya tak ada salahnya bila direnungi kembali. Mungkin juga kita perlu bertanya pada diri kita,"Sebenarnya kita memperhatikan pasien untuk siapa sih? Untuk kepentingan dokter yang menjadi dosen kita, untuk para senior kita, untuk pasien itu sendiri, untuk diri kita sendiri, atau untuk siapa?"

Satu hal yang entah kapan persisnya, pernah terlintas dalam benak saya, apa yang akan saya rasa kalau saya adalah pasien yang terbaring di bangsal kelas III tempat para koas belajar? Atau, kalau saya adalah pasien yang berobat ke poliklinik bagian di RS pendidikan? Bagi rekan-rekan yang sudah pernah jaga di bangsal penyakit dalam, atau bedah, atau UGD, atau mana saja, coba kita bayangkan kalau kita sendiri yang terbaring di situ.

Seorang dosen saya pernah berkata, "Ingat, kamu berdiri di sini, sekolah di fakultas kedokteran ini, memakai baju putih ini, bukan terutama karena kamu hebat, bukan karena kamu pandai, bukan karena kamu cerdas, tapi cuma karena kamu beruntung sekali memiliki orangtua yang mampu membesarkan kamu dari bayi, menyekolahkan kamu dari TK sampai SMA, sehingga kamu bisa masuk ke Fakultas Kedokteran dan berdiri di sini. Jadi, jangan sekali-kali kamu merasa lebih hebat dari orang lain". Mungkin beliau tidak persis begitu kata-katanya, tapi intinya kira-kira begitulah.

Saya jadi berpikir, pada saat kita lahir, apa sih keunggulan kita dibanding orang-orang lain? Menurut saya, keunggulannya adalah saya memiliki orangtua yang cukup mampu mengupayakan saya lahir di rumah sakit, yang cukup mampu membelikan saya makan dan minum, cukup mampu memeriksakan saya ke dokter, memberi saya imunisasi, menyekolahkan saya, dst. Tapi, dari itu semua, yang modalnya 100% dari saya sendiri apa? Jadi, apa bedanya kita dengan mereka yang terbaring di bangsal itu? Mungkin cuma nasib.

Belajar dari Dosen

Menurut saya, dosen di fakultas kedokteran, dalam masa kepaniteraan klinik sangat berbeda peranannya dibandingkan dalam masa pre-klinik. Dalam periode preklinik, rasanya dosen di fakultas kedokteran tidak berbeda dengan dosen di fakultas lain. Mereka mengajarkan suatu topik di kelas dan mahasiswa-mahasiswanya mendengarkan. Topik yang dibahas sudah jelas, misalnya hepatitis atau hiperbilirubinemia pada neonatus, plasenta previa, dsb. Yang dibahas sudah pasti yang sesuai dengan topik tersebut.

Di periode klinik, para dosen tidak dituntut sekadar mengajar, tapi sadar atau tidak sadar, juga dituntut untuk mendidik koas menjadi seorang dokter dan manusia yang utuh. Sebagai konsekuensinya, segala tindak tanduk dosen akan menjadi "referensi" bagi para koas. Bagi rekan-rekan yang sudah ada di kepaniteraan klinik tentunya juga sudah tahu bahwa setiap dosen punya gaya sendiri-sendiri, terlepas bahwa kita senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju.

Ada dosen yang profesor yang setiap kali hanya marah-marah dan mengatakan segala kekurangan koasnya. Kemudian pergi meninggalkan koas-koasnya yang masih ketakutan dan bingung mau berbuat apa. Sebaliknya, ada juga dokter umum yang baru lulus, belum banyak pengalaman, namun bebar-benar meluangkan waktu dan kesabarannya untuk berusaha menerangkan suatu materi untuk koas-koasnya.

Juga ada dokter yang setiap hari hanya datang dan visit sekitar 15--30 menit, tetapi ada juga dokter spesialis yang rela dan mau datang pukul 23.30 untuk melihat pasien yang dikonsulkan oleh koas yang kebingungan yang sedang jaga malam. Ada dokter yang tidak sungkan-sungkan untuk meminta koas mengadakan acara makan-makan bersama dalam rangka perpisahan di akhir suatu siklus. Sebaliknya, ada juga dokter yang dengan tegas menolak acara makan bersama, kecuali jika ia ikut menyumbang. Saya ingat sekali ada dosen saya yang berkata, "Saya tidak mau makan gratis dari keringat orangtua kalian. Toh kalian sudah habis banyak biaya untuk sekolah kedokteran ini". Bahkan, ada juga dosen yang malah membawakan makanan untuk koasnya.

Ada dokter yang bangga bila bisa mengatakan bahwa tindakan dokter spesialis lainnya adalah salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya. Namun, ada juga dokter yang sangat menghormati penilaian klinis teman sejawatnya, walaupun ia sendiri tidak sepaham. Ada dosen yang senang bila mahasiswanya aktif bertanya, tetapi ada juga dosen yang malah marah dan jengkel bila mahasiswanya banyak bertanya. Ada dokter yang gemar memarah-marahi koas di depan pasien, tapi ada juga dosen yang malah berusaha menjaga wibawa koas di depan pasiennya.

Segala macam ada, dan seperti kata pepatah kuno "tak ada gading yang tidak retak" tak ada seorang dosen pun yang 100% sempurna. Jika Ada 50 dosen, berarti ada 50 karakter yang berbeda dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya.

Bagaimana kita akan membiarkan diri kita dibentuk dan dididik oleh lingkungan ini, agaknya tergantung dari bagaimana kita berusaha dapat meneladani sikap yang positif dari mereka dan menghindari kekurangan mereka. Bagaimanapun, mereka toh bukan dewa. Mereka hanya manusia biasa juga. Satu hal yang memudahkan bagi kita adalah dengan berinteraksi dengan mereka. Kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman, pola analisa, dan pola berpikir mereka yang sudah terbentuk, dari keberhasilan dan dari kegagalan mereka, dari kelebihan dan kekurangan mereka, sehingga kita tak harus belajar dengan mata buta.

Hanya saja, pertanyaannya bagi diri kita, seberapa banyak kita berani untuk belajar dari mereka? Karena, sebuah kenyataan yang ironis bahwa kebanyakan dari kita ingin interaksi dengan para dosen berlangsung sesingkat mungkin. Kebanyakan dari kita malah senang bila dosen yang seharusnya mengajar tiba-tiba berhalangan. Baru nanti setelah selesai di bagian itu, kita akan merasa menyesal karena tidak mendapat banyak bimbingan dari sang dosen.

Belajar dari Teman

Saat masuk koas, biasanya kita tak dapat memilih siapa yang akan sekelompok dengan kita atau yang biasa disebut "teman seumur hidup". Kita akan terima saja kelompok itu, 3 atau 4 orang, tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mengganti orang tersebut. Suka atau tidak, dialah yang akan bersama kita di koas melalui seluruh siklus, kecuali kalau akhirnya ada yang cuti, mungkin akan agak berubah. Kita sudah kenal orang itu, atau sudah dekat atau belum, tak bisa kita pilih. Ya sudah terima saja. Tapi, pilihan terletak di tangan kita sendiri. Bila kita belum dekat dengan orang itu, kita punya pilihan untuk menjadi lebih dekat, atau tetap saja ngotot tidak mau dekat. Bila sudah dekat, tak terlalu masalah mungkin.

Seorang teman saya mengatakan bahwa ia mula-mula menyesali nasibnya yang harus menjadi teman seumur hidup seorang mahasiswa lain yang tidak disenanginya di pre-klinik. Namun, seiring dengan acara perkoasan (perhatikan: bukan perkosaan!!), ketika seluruh siklusnya hampir selesai, ia ditanya kembali tentang temannya itu. Ia bingung mendeskripsikan hubungannya dengan temannya itu. Dari sebel, jengkel, marah, sampai akhirnya menjadi teman curahan hati, dan kehilangan setelah beberapa hari saja tidak bertemu. Tapi, tidak semua tentunya berpendapat begitu. Ada juga yang malah sebaliknya, dari teman dekat malah jadi musuh bebuyutan. Ada yang dari awal tidak suka, ya tetap saja tidak suka terus.

Tapi, dari itu semua, satu hal yang pasti adalah kita akan bertemu bermacam-macam karakter, yang mau tidak mau kita akan selalu berkaitan dan berurusan. Entah itu bersama-sama menangani pasien, membuat presentasi kasus bersama, jaga malam bersama, buat referat bersama, ujian bersama, dll.

Ada rekan sejawat sesama koas yang susah sekali diberitahu kekurangannya, yang malah jadi paranoid dengan teman-temannya. Ada yang begitu percaya pada temannya, sampai akhirnya setengah "diperalat". Ada yang begitu bermusuhan, hingga tiap kali membuat jadwal jaga harus dibuat sedemikian rupa supaya tidak bertemu. Ada juga yang malah begitu dekatnya sampai-sampai kalau jaga malam maunya barengan terus. Ada juga yang selalu datangnya telat, tapi ada yang datangnya lebih pagi dari tukang parkir. Ada yang pikirannya belajar melulu, ada yang pikirannya makan melulu. Ada yang kalau diskusi atau presentasi kasus bertanya terus, ada yang kalau diskusi "nyaris tak terdengar suaranya" (mungkin cuma "wuzzz....wuzzz"). Ada yang punya mobil pribadi Mercedes Benz, ada juga yang tiap hari harus naik Mercedes yang lain yang lebih besar, yang ada rutenya sendiri, dan harus berdiri beramai-ramai bersama dengan kondekturnya. Segala macam karakter ada dan berinteraksi dengan kita, dan mau tidak mau membuat kita belajar bagaimana berhadapan dengan rekan kerja yang modelnya macam-macam, yang pikirannya tidak selalu sama dengan kita. "Keterpaksaan" untuk bekerjasama dengan orang lain ini mau tidak mau akan mendidik kita bagaimana harus beradaptasi dengan orang lain.

Saya pribadi punya pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Saat saya masuk bagian yang langsung berhadapan dengan pasien untuk pertama kalinya, saya bingung bagaimana menghadapi mereka. Kebetulan itu adalah bagian yang ada bangsalnya, jadi ada pasien rawat inap. Jaga malam pertama kali, saya ditanya senior saya yang jaga malam bersamaan, "Kamu sudah pernah menyuntik?". Karena memang saya belum pernah, saya bilang,"Tidak..., belum pernah". Senior saya itu akhirnya mengajarkan ke saya cara menyuntik seorang pasien. Percaya atau tidak, dosen yang secara khusus mengajarkan saya cara menyuntik baru saya jumpai setelah satu tahun dalam siklus kepaniteraan. Akhirnya, sejak saat itu, setiap kali saya harus menyuntik pasien, saya teringat kejadian pertama kali saya diajarkan oleh senior saya itu.

Cerita lain lagi, sekitar 1 tahun dari kejadian itu. Saya ada di bagian lain, yang ada pasien rawat inapnya juga. Saat itu ada pasien yang keadaannya memang tidak baik. Seorang wanita masih relatif muda, sekitar 30 tahun. Dirawat dengan keluhan utama sesak napas. Setelah pemeriksaan, ternyata karena terdapat tumor di paru-parunya. Dokter penyakit dalam yang merawat akhirnya dengan berat hati menyampaikan diagnosanya pada wanita tersebut dengan singkat saja, dan melanjutkan visit bangsalnya. Bisa dibayangkan bagaimana kagetnya ia. Semula ia kira hanya bronchitis, ternyata kanker paru dan harus dioperasi. Siangnya, karena saya harus menyiapkan presentasi kasus untuk 2 hari lagi, saya pulang agak sore. Teman saya yang semula mau ikut menumpang mobil saya, saya tawarkan kalau mau menunggu atau pulang duluan. Teman saya ini memilih menunggu. Sekitar jam 5 akhirnya saya mau pulang, dan teman saya tidak ada di ruangan kelas. Saya bingung ia ada di mana, apakah ia sudah pulang karena bosan menunggu atau ke mana saya tidak tahu. Saya tanya ke perawat yang ada di nurse station. Ternyata, teman saya sedang ada dalam salah satu ruangan rawat inap.

Saya masuk ke dalam ruangan itu, dan menemukan teman saya sedang duduk dan mengobrol dengan pasien wanita yang terkena kanker paru tadi. Akrab sekali. Saya melihat betapa wajah si pasien berubah sekali dibandingkan saat siang tadi. Saat ia begitu terpukul mendengar diagnosa dari dokter bangsal. Saya hanya ikut bicara sebentar dan akhirnya saya serta teman saya pamit mau pulang dulu. Pasien tersebut tiba-tiba memanggil teman saya itu sesaat sebelum kami keluar ruangan. Dia bilang, "Dok, terima kasih sekali ya, Dok. Sungguh. Sampai esok pagi Dok..." Tulus sekali. Saya bingung. Sambil jalan ke lapangan parkir saya meminta maaf pada teman saya karena lama menunggu dan saya tanya juga ada apa dengan pasien tadi kok sampai harus diperiksa lagi? Teman saya malah bilang, kalau ia senang bisa berlama-lama di ruangan tersebut dan tidak harus buru-buru pulang bersama saya. Ia juga bilang bahwa pasien itu tidak diperiksa ulang. Lantas? Teman saya malah berkata, "Saya tidak tahu apa pendapat orang lain, tapi menurut saya, kita tidak berada di fakultas kedokteran hanya untuk belajar penyakit dan apa obatnya, tapi kita belajar bagaimana menolong mereka yang sakit dan memberikan perhatian pada mereka. Saya belum mempunyai kemampuan menyembuhkan penyakitnya, tapi paling tidak saya bisa memberikan perhatian baginya dalam menghadapi masalahnya".

Saya jadi berpikir, lama juga. Mengapa hal ini baru saya sadari? Mengapa tidak pernah saya alami diskusi kasus tentang keadaan emosional pasien, atau tentang bagaimana memberikan empati pada pasien? Atau, tentang bagaimana melihat pasien sebagai seorang manusia, bukan sebagai sebuah penyakit? Saya baru menyadari bahwa saya belajar hal seperti ini dari teman-teman saya.

Perawat, Bidan,Cleaning Service, dan lain-lain

Selama di kepaniteraan, selama berurusan dengan pasien, sering kita melupakan orang lain yang terlibat pula. Padahal, masih ada perawat, bidan, kasir, administrator, cleaning service, petugas laboratorium atau radiologi, bahkan Satpam pun menjadi keseharian kita, selama ada di rumah sakit. Tanpa mereka semua, mungkinkah semua bisa berjalan? Bagaimana besarnya peran mereka dalam proses pelayanan para pasien sudah tidak perlu dibahas lagi. Rasanya kebangetan kalau tidak tahu bahwa mereka berperan besar. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa mereka juga secara langsung dan tidak langsung mendidik kita menjadi dokter macam apa? Saya masih ingat yang mengajarkan saya memasang infus, memasang kateter urine, membersihkan luka, membuka ampul obat, membalut luka, dan sebagainya, bukanlah para dokter dosen saya yang pertama-tama, melainkan para perawat dan bidan. Atau proses pencucian film rontgen yang diajarkan oleh radiograph, cara menyiapkan berbagai jenis diet pasien yang diajarkan oleh karyawan dapur rumah sakit, dan masih banyak lagi rasanya.

Akhirnya, saya teringat kata-kata dr. Mark Greene dalam film seri ER, yang pernah diputar di Indosiar, dalam salah satu episodenya, "... setiap detik kita belajar tentang hidup, dari setiap orang yang ada di sekitar kita, dan setiap detik itu pula kita mengambil keputusan mengikuti yang mana...".

 

Comments ? send to martinique93@yahoo.com

(Back to Profile)