Disiplin Anak

oleh : Dr. Martin Leman

        Disiplin di sini dimaksudkan cara kita mengajarkan kepada anak tentang perilaku moral yang  dapat diterima  kelompok.  Tujuan utamanya adalah  memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar ini. Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu hukum atau peraturan yang berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran  peraturan itu, dan  hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik.

        Untuk anak yang masih dalam usia pra sekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pedidikan dan pengertian dalam disiplin.  Seorang anak yang masih usia pra sekolah ini, diberi hukuman hanya kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan dan terlebih  bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang baik, ia diberikan hadiah, biasanya ini akan meningkatkan  keinginannya  untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik.

        Ada berbagai cara  yang umum digunakan oleh orang tua  untuk mendisiplinkan anak-anak dan remaja, antara lain :

Disiplin Otoriter

Adalah bentuk disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno “ menghemat cambukan berarti  memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau pengasuh memberikan anak peraturan-peraturan  dan anak harus mematuhinya. Tidak ada penjelasan pada anak mengapa ia harus mematuhi , dan anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mentaati peraturanitu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan pun agak kejam dan keras, karena dianggap merupakan cara terbaik agar  anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian  hari. Seringkali anak  dianggap sudah benar-benar  mengerti  aturannya, dan ia  dianggap  sengaja melanggarnya, sehingga anak tidak perlu diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya lagi.  Jika anak melakukan sesuatu  yang baik,  hal ini juga dianggap tidak perlu diberi hadiah lagi, karena sudah merupakan kewajibannya. Pemberian hadiah malahan dipandang dapat mendorong anak untuk selalu mengharapkan adanya sogokan agar melakukan  sesuatu yang  diwajibkan masyarakat.

Disiplin yang lemah

Disiplin model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang dialami orang dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model disiplin yang otoriter,  maka ketika ia memiliki anak, dididiknya dengan cara yang sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar  bagaimana  berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung 3 unsur penting disiplin.

Disiplin Demokratis

Disiplin jenis ini, menekankan hak anak  untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat  dan memperoleh kesempatan  mengemukakan  pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat muda,  tetapi daripadanya tidak diharapkan kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya aturan-aturan itu, dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan, dan tidak lagi dengan cara hukuman fisik.  Sedangkan perilaku sosial yang baik, dan sesuai dengan harapan, dihargai terutama  dengan pemberian pengakuan sosial dan  pujian.

        Adapun penerapan tipe-tipe disiplin ini memberi dampak yang cukup nyata bedanya.Pengaruh penerapan disiplin ini  pada anak, meliputi beberapa aspek, misalnya :

Pengaruh pada perilaku

Anak yang mengalami  disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan  sangat patuh bila  dihadapan orang – orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman  sebayanya. Sedangkan anak yang  orang tuanya  lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku  yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.

Pengaruh pada sikap

Baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa.  Anak yang  diperlakukan dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah   merasa bahwa  orang tua seharusnya  memberitahu bahwa tidak semua orang dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis  akan menyebabkan kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk  sebagai akibat dari  metode pendidikan anak  cenderung menetap  dan bersifat umum , tertuju kepada semua  orang yang berkuasa.

Pengaruh pada kepribadian

Semakin banyak anak  diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras  kepala, dan negativistik. Ini memberi dampak  penyesuaian  pribadi dan sosial  yang buruk, yang juga memberi ciri khas  dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin yang demokratis,  ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang terbaik.

        Persepsi yang sering keliru adalah pengertian istilah pemberian  hadiah.  Kadang orang tua beranggapan bahwa  memberikanhadiah selalu berupa memberi mainan, permen, coklat, atau hadiah lain yang berupa benda. Sebenarnya hadiah juga dapat berupa  bukan benda, misalnya berupa pengakuan atau pujian pada anak.  Para orang tua yang menggunakan cara disiplin demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa benda. Mereka  khawatir  hal ini akan memanjakan anak  atau takut cara ini dianggap sebagai bentuk  penyuapan  yang merupakan  teknik disiplin yang buruk.  

        Pelanggaran berupa bentuk ringan dari  ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan  yang keliru sangat sering terjadi pada masa prasekolah. Pelanggaran ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ketidaktahuan anak bahwa perilakunya itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak mungkin saja sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hafal kata-kata aturannya itu, tetapi ia tidak mengerti konsep yang dikandung dari aturan itu,dan kapan ia harus menerapkannya. Sebagai contoh, anak bisamengerti bahwa mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga termasuk mencuri.

        Hal kedua yang sering juga menjadi  penyebab anak melanggar adalah anak belajar bahwa sengaja tidak patuh dalam  hal yang kecil-kecil umumnya akan mendapatkan perhatian  yang lebih besar daripada  perilaku yang baik. Jadi kadang anak yang merasa diabaikan, demi menarik perhatian  orang tuanya, sengaja  berbuat salah dengan harapan akan memperoleh perhatian lebih. Dan ketiga, pelanggaran  dapat disebabkan  oleh kebosanan. Bila anak tidak memiliki kegiatan  untuk mengisi waktu luang, maka kadang kala anak ingin membuat kehebohan. Atau kadang  bisa juga  ia hendak menguji  kekuasaan orang dewasa dengan melihat seberapa jauh ia dapat  melakukan sesuatu tanpa dihukum.

Anak yang lebih besar

Bagi anak yang lebih besar, yang sudah masuk usia sekolah, disiplin berperan penting dalam perkembangan moral. Disiplin bagi anak yang lebih besar ini menjadi hal yang lebih serius lagi.  Teknik disiplin yang pada usia pra sekolah tampaknya efektif, tidak bisa dijalankan tetap dengan cara yang sama terus menerus. Bagi anak yang sudah diusia sekolah ini,  disiplin yang  diterapkan juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan antara lain adalah :

 ·         Anak yang lebih dewasa, semakin lama semakin membutuhkan penjelasan mengenai mengapa hal tertentu tidak boleh dilakukan, dan mengapa hal lain baik untuk dilakukan. Anak semakin mampu memahami konsep tentang perilaku yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas. Sebagai akibatnya, tuntutan atas penjelasan berbagai hal semakin besar pula.

·         Pemberian ganjaran seperti pujian atau perlakuan khusus bila anak melakukan sesuatu yang baik, mempunyai nilai yang positif dalam mendorong anak berusaha berbuat lebih baik lagi lain kali.  Akan tetapi pemberian pujian dan perlakuan istimewa pun harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, jangan dari kecil hingga besar sama saja. 

·         Pemberian hukuman, juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Hukuman juga harus bersifat  lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan rasa dipermalukan.  Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak harus dibuat mengerti mengapa hal yang dilakukan  itu salah.

·         Konsistensi dalam memberikan hukuman atau ganjaran pun penting.  Untuk kesalahan yang sama, berikan hukuman yang sama, dan sebaliknya juga untuk hal yang baik. Apa yang benar dan baik hari ini,  akan tetap benar esok hari.  Jangan apa yang hari ini benar danbaik, besoknya menjadi hal yang dianggap salah dan patut dihukum.

Majalah 'Anakku' ed.4, thn 2000.

(back to index)

24/08/00