Perkembangan mental dari bayi hingga dewasa
oleh : Dr. Martin Leman
Menjadi dewasa adalah proses yang cukup panjang. Kita bisa bayangkan begitu banyaknya perubahan yang terjadi dalam diri seseorang, dari saat baru lahir dengan berat sekitar 2- 3 kg saja sampai ia tumbuh dewasa dengan berat bisa sampai 50-60 kg. Proses yang terjadi ini meliputi proses pertumbuhan dan perkembangan, yaitu dua hal yang berbeda namun sangat berkaitan.
Konsep yang terkandung dalam “pertumbuhan” adalah perubahan ukuran. Misalnya dari berat badan 3 kilogram menjadi 50 kilogram. Dari tinggi hanya 50 cm, hingga tinggi badan mencapai 160 centimeter, dsb. Jadi di sini perubahan secara fisik yang kasat mata, sebab memang ukurannya berubah.
Sedangkan konsep yang ada dalam “perkembangan” adalah proses menjadi sempurnanya fungsi dari seluruh organ tubuh, termasuk di sini adalah kematangan emosi, kematangan dalam interaksi sosial, dan kemampuan intelektual. Dalam proses perkembangan ini, anak kecil yang semula tidak bisa apa-apa, menjadi mampu berdiri sendiri, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, mampu berhitung, dan lain sebagainya.
Proses pertumbuhan dan perkembangan ini berjalan dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor genetik dari kedua orang tuanya sudah jelas akan memberi kontribusi yang besar dalam hal ini. Selain itu ada pula faktor riwayat kesehatan ataupun trauma yang pernah dialami oleh anak. Demikian pula faktor lain yang sifatnya tidak langsung, misalnya status ekonomi orang tua, yang berpengaruh pada kecukupan gizi dan kesejahteraan anak. Bahkan pada masyarakat yang masih memiliki akar budaya yang kuat, perkembangan karakter anak juga akan terpengaruh oleh norma-norma budaya tersebut.
Secara fisik, anak mengalami pertumbuhan di mana ukuran tubuh menjadi lebih besar. Dalam hal perkembangan fisik, anak menjadi terampil dalam menggunakan tangan dan jari-jarinya, kakinya, dapat berdiri, berlari, dapat makan sendiri, dapat menelan dengan baik, dan berbagai kemampuan lain yang sifatnya berupa keterampilan.
Intelektualitas juga mengalami perkembangan. Anak berkembang menjadi mampu berkomunikasi dengan sekitarnya, dapat menyampaikan pikirannya, dan dapat memahami hal-hal abstrak dan simbolis. Perilaku anak juga mengalami proses perkembangan, mengikuti norma-norma yang ada di lingkungan di mana ia dibesarkan.
Dari segi emosional, anak akan berkembang untuk mampu membangun ikatan perasaan, emosi dan kasih sayang. Ia akan semakin mampu mengatasi kecemasannya, mengendalikan agresivitas dan emosi. Interaksi sosialnya juga akan berkembang. Ia akan memiliki ikatan yang semakin kuat dengan orang tua, saudara dan lingkungan kesehariannya.
Proses perkembangan sebenarnya merupakan proses belajar. Seperti halnya proses perkembangan perilaku, di mana anak belajar dari bagaimana tindakan atau sikapnya dihargai oleh orang lain. Ia akan mengembangkan perilaku yang membuahkan balasan positif dari orang sekitarnya. Sebaliknya bila orang di sekitarnya memberi respons yang negatif, perilaku itu tidak akan berkembang. Kadang orang tua perlu memberi ketegasan pada anak, apa yang tidak boleh anak lakukan, maka orang tua dapat memberinya respons negatif berupa hukuman. Hukuman di sini merupakan respons negatif dan keadaan yang tidak menyenangkan, yang dibuat agar anak tidak mengembangkan lagi perilaku itu. Walaupun demikian, ternyata penelitian mengatakan bahwa lebih efektif memberi penghargaan terhadap perilaku yang positif , daripada memberi hukuman terhadap perilaku negatif.
Pembentukan dan modifikasi dari perilaku anak ini banyak dipengaruhi oleh adanya penghargaan dari lingkungan sekitarnya. Semakin ia diberi respons positif, semakin kuat perkembangannya. Selain itu yang menjadi acuan dari anak dalam bertingkah laku adalah perilaku dari orang sekitanya. Anak yang masih kecil memiliki kecenderungan untuk meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya. Mereka menjadikan orang tua dan kakak-kakaknya sebagai contoh model dalam berperilaku.
Semakin besar anak, ia akan semakin memiliki kemampuan berpikir secara abstrak. Ia tidak hanya belajar dari mencoba sesuatu, tetapi juga dari melihat dan memperhatikan orang lain melakukannya. Model yang dijadikannya contoh berperilaku juga makin meluas dan tidak hanya dari yang ada di sekitarnya secara langsung. Media massa dan televisi akan ikut memberi pengaruh dalam pembentukan karakter dan perilakunya. Skala nilai dan norma-norma yang dianut juga akan tidak jauh berbeda dengan dunianya ini. Semakin besar anak, ia akan semakin melihat nilai dan norma apa yang diajarkan oleh orang tuanya, dan bagaimana kenyataan orang tua menjalaninya secara nyata dalam keseharian. Di sini penting sekali bahwa perilaku orang tua sehari-hari harus sesuai dengan yang mereka ajarkan pada anaknya. Justru bila apa yang dilakukan dan diajarkan oleh orang tua berbeda, akan berakibat anak tidak memahami dan mengerti tentang perilaku yang seharusnya.
Hal lain yang perlu juga diingat adalah bahwa tiap anak memiliki pola perilaku yang unik dan bervariasi. Jadi bagaimana pun anak akan tetap memiliki tabiat dan perilakunya sendiri, bahkan pada anak kembar sekalipun. Kita sebagai orang tua tidak akan bisa menentukan 100 % bagaimana perilaku anak itu. Tetapi kita sebagai orang tua harus dapat memahami karakteristik tiap anak, sehingga dari situ kita dapat membimbing dan mengajarkan esensi perilaku yang baik padanya.
Bayi baru lahir sangat tergantung dengan lingkungannya. Untuk memenuhi keperluannya ia masih harus dibantu oleh orang lain. Sedangkan orang dewasa, sudah dapat mempengaruhi lingkungannya dalam pemenuhan kebutuhannya. Kemampuan untuk berinteraksi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya ini diperoleh dari suatu proses perkembangan sejak bayi hingga dewasa. Proses perkembangan dan perubahan pada bayi yang baru lahir hingga bisa berdiri sendiri saat dewasa ini, terjadi dalam beberapa tahap :
Bayi usia 0 – 1 tahun (bayi yang masih menyusu)
Di usia ini bayi belum dapat membedakan dirinya dengan lingkungan luarnya. Ia masih dalam taraf mulai belajar untuk membedakan antara dirinya dan dunia luarnya. Pada usia ini kebutuhan bayi memang masih sedikit, tetapi harus terpenuhi dengan baik. Dunia luarnya akan dimulai dari ibu atau orang yang memenuhi kebutuhannya dan merawatnya sehari-hari. Anak pun akan jauh lebih menyukai bila mendengar suara ibunya, yang dikenalnya sejak ia lahir.
Pada usia 2 - 6 minggu, ia mulai kenal dan akrab dengan anggota keluarga yang ada di sekitarnya. Ia sudah merasa nyaman dan senang terhadap lingkungannya dan juga atas perhatian yang diberikan akan kehadirannya. Perasaan senangnya ini akan tercermin dari kontak sosialnya yang pertama, berupa ekspresi senyuman, yang disebut social smile.
Di usia 4 bulan, anak akan semakin dapat menikmati kontak sosial. Ia sudah dapat memberi ekspresi tertawa pada orang yang melihatnya. Ia pun sudah mulai dapat membedakan ekspresi muka orang yang ada dihadapannya, walau kadang belum mengerti benar. Seiring dengan kontak-kontak sosial yang ia buat, ia pun mengembangkan ikatan emosionalnya. Di usia sekitar 6 bulan, bahkan ia sudah dapat memilih untuk melakukan kontak sosial dengan seseorang yang lebih disenanginya. Karena berkembangnya ikatan emosional dalam kontak sosialnya inilah, maka anak di usia 6 sampai 8 bulan kadang mengalami separation anxiety. Anak cemas, bila orang yang secara emosional dekat dengannya tidak ada di dekatnya lagi. Untuk melatih anak agar mampu mengatasi keterpisahannya dengan orang tua ini, sering kali anak diajak bermain “cilukba” . Secara tak langsung anak dilatih untuk bisa mengatasi keadaan walau ia tak melihat ada orang tua di sekitarnya.
Dengan perkembangan kemampuan melihat ekspresi wajah orang yang ada di hadapannya, bayi yang berusia 7 bulan mulai mengerti ekspresi wajah, terutama orang yang sudah lama ia kenal. Perilaku yang ia lakukan hingga sekitar usia 12 bulan, masih berupa imitatif dari apa yang ia lihat. Ia melakukan apa yang ia lihat orang lain lakukan, walau ia sendiri belum mengerti maksud tingkah laku itu.
Dalam hal berkomunikasi, di usia sekitar 8 bulan ia sudah familiar dengan namanya sendiri. Ia sudah mengerti bahwa jika ia mendengar namanya itu, berarti ia dipanggil. Di usia 9 bulan, bayi mulai mengerti bila seseorang pergi dari hadapannya, tidak berarti tidak akan kembali, dan ia mulai mengerti “bye-bye” atau “da-daah..” sebagai ucapan untuk berpisah sementara.
Ibu yang bisa merawat bayinya dengan baik, dengan peka, dan memenuhi kebutuhan si bayi, akan menjadikan bayi memiliki kepercayaan pada dunia luar, dan tidak menjadi takut. Bila bayi berkenalan dengan dunia luar dengan baik, di mana lingkungan itu mau menerimanya, ia akan memiliki kepercayaan untuk membuka kontak sosial dengan dunia luar yang lebih luas. Dunia luar tidak menjadi momok baginya, dan ia akan terus memperluas dunia luarnya itu. Sebaliknya, ibu yang kaku, keras, tidak peka akan kebutuhan si bayi, akan menjadikan bayi tegang dan tentunya akan memberi efek kurang baik bagi perkembangan si bayi.
Jadi perlu diingat bahwa hubungan baik dan rasa percaya pada dunia luar ini selain dipengaruhi oleh bakat anak itu sendiri, juga dipengaruhi oleh sikap orang disekitarnya, terutama dalam tahun pertamanya.
Pada usia ini tingkat ketergantungan mulai berubah. Aktivitas yang semula serba dependen perlahan beralih menjadi independen. Seiring dengan kemajuan dalam kemampuan bahasa, gerak, dan kemampuan komunikasi dengan dunia luarnya, ia akan lebih mudah mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya. Perbendaharaan kata yang dimiliki semakin banyak, dan anak mulai pandai menirukan kata yang didengarnya. Orang tua yang mengasuhnya pun lebih mudah mengerti apa yang dikehendaki si anak, karena anak sudah dapat berkomunikasi dengan lebih baik. Dengan kemampuannya itu, ditambah dengan keterampilan motoriknya yang mulai dapat memegang, memeriksa , dan mencoba sesuatu, ia akan semakin banyak melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya. Ia akan senang untuk membongkar-bongkar dan mengobrak-abrik semua tempat.
Semakin ia besar dan mengerti perbedaan dirinya dengan dunia luar, disini akan timbul pertentangan. Pertentangan terjadi karena si anak belum mengenal kepentingan lain selain kepentingan dirinya sendiri, sehingga kerapkali akan terjadi pertentangan dengan kepentingan orang tuanya.
Dalam usia 2-3 tahun anak memasuki fase gemar memprotes segala hal. Setiap ajakan akan ditolak dan diprotesnya. Masa ini disebut masa kopigheid’s periode (masa keras kepala), atau ada pula yang menyebutnya sebagai masa negativistik. Anak seperti berusaha berpegang pada suatu pendirian, walau setelah itu ia juga akan menentang ajakan sebaliknya.
Dalam usia 4 tahun, anak senang bermain-main dengan anak lain. Keingintahuannya meluas dan ia sudah dapat berfantasi akan kesenangannya. Pola interaksi dengan orang tua juga mulai agak berubah. Orang tua sudah melihatnya sebagai anak yang agak besar, bukan anak bayi lagi, yang tidak lagi harus ditunggui setiap saat oleh ibunya. Di sinilah anak kadang kembali mengalami separation anxiety, karena ia tak lagi selalu di dekat ibunya. Hal ini juga sering terjadi bila ibu melahirkan adiknya, di mana perhatian seluruh keluarga lebih banyak tercurah bagi si adik bayi yang baru lahir.
Aktifitas juga akan meningkat. Anak seperti tidak bisa diam, maunya naik turun tempat tidurnya, mencoba jalan-jalan, dan lain sebagainya. Pada masa ini orang tua sering terlalu khawatir dan akhirnya semakin keras dan melarang anaknya untuk banyak bermain. Sebenarnya hal ini dapat memberi pengaruh kurang baik, sebab anak yang semula aktif dan bersemangat menjelajahi dunianya, menjadi berkurang minatnya karena takut dimarahi kalau-kalau ia melakukan sesuatu yang ternyata dilarang orang tuanya. Akhirnya anak yang semula aktif menjadi anak yang pasif, dan akhirnya perkembangannya melambat.
Faktor lain yang berpengaruh adalah perubahan sikap dari orang tuanya, di saat si anak memiliki adik. Si sulung dituntut untuk jadi panutan bagi sang adik. Terhadap sang adik yang baru lahir, biasanya sikap orang tuanya tidak sama seperti waktu si sulung masih sendiri. Kekuatiran orang tua sudah berkurang, dan sang adik memperoleh lebih banyak kebebasan.
Selain dari orang tua, kakak dari seorang anak juga turut mempengaruhi perkembangan anak. Dengan adanya seorang kakak, bagi sang adik bisa menjadi pemacu untuk berkompetisi dan berusaha untuk menyainginya. Namun sebaliknya, bisa juga si adik bisa menjadi manja, sebab selalu terlindungi oleh kakaknya. Seorang adik bungsu yang bedanya jauh dengan kakaknya, kadangkala akan dibiarkan memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap kakak-kakaknya, atau terhadap orang tuanya.
Usia ini adalah usia sekolah awal. Anak mulai masuk Taman Kanak-kanak. Ia memulai untuk berusaha berdiri sendiri di dunia luarnya. Ia tidak lagi berada di sisi ibunya terus-menerus. Di TK ia akan mulai berlatih berbagai keterampilan. Kemampuan melihat, menerima pengertian, berpikir, berbahasa, yang masih sederhana akan dikembangkan dengan berhadapan langsung dengan dunia luar. Hal-hal yang dialaminya secara langsung akan semakin banyak dan semakin bervariasi.
Aktifitasnya akan meningkat, dan porsi waktu yang semula ia habiskan dalam rumah saja bergeser menjadi banyak di luar rumah. Dan ia juga akan melihat dunia yang melibatkan lebih banyak orang, dengan berbagai perilakunya. Di sinilah orang tua sering menjadi cemas, sebab khawatir perilaku orang lain akan memberi pengaruh yang tidak baik bagi anak.
Dalam proses mengasah ketrampilan ini, setiap anak memiliki kecepatan yang berbeda-beda, walaupun anak itu sebenarnya normal. Di sinilah peran ibu / orang tua cukup besar. Kadang kala ibu merasa cemas dan “senewen” melihat anaknya kurang cepat dibanding anak lain, dan akhirnya menyuruh anak untuk lebih cepat. Ini kadang malah berakibat anak menjadi semakin tegang dan bertentangan dengan ibunya.
Hal lain yang sering dilakukan ibu adalah mengambil alih tugas mengerjakan pekerjaan rumah atau prakarya yang diberikan gurunya. Pengambilalihan ini bisa juga berupa menyuruh kakaknya yang lebih besar untuk mengerjakannya. Memang akhirnya si anak akan mengumpulkan hasil karya yang baik, mungkin malah paling baik di kelasnya, dan memperoleh nilai yang tinggi, akan tetapi hal ini sebenarnya malah berakibat tidak baik bagi perkembangan anak. Anak akan menjadi tidak bertambah terampil (malah ibu atau kakaknya yang tambah terampil), dan secara tidak sadar akan menanamkan pada anak bahwa ia tidak perlu repot-repot karena akan selalu dibantu ibunya. Fungsi sekolah yang bertujuan untuk membentuk tanggung jawab,kewajiban, dan keterampilan pun tidak tercapai sebagaimana direncanakan. Hal yang mungkin terjadi juga, si anak dapat menjadi terbiasa menyalahgunakan kasih ibunya itu dengan berlambat-lambat dalam melakukan suatu tugas, dengan harapan akan diambil alih oleh ibunya.
Pertentangan lain yang sering terjadi juga di usia ini adalah pertentangan antara pengaruh ayah dan pengaruh ibu. Pada usia ini, di mana dunia si anak sudah mulai meluas dan ia mulai bisa membedakan banyak orang, ia akan dapat melihat ayah dan ibunya sebagai orang yang berbeda. Jika ia melihat bahwa ayahnya mengharapkan lain dengan apa yang ibunya harapkan, ia akan mengalami pertentangan, sebab tidak mungkin baginya memenuhi harapan keduanya sekaligus. Hal ini dapat memberikan pengaruh buruk pada usahanya untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan berdiri sendiri.
Keseimbangan antara ketergantungan dan mampu berdiri sendiri mulai tampak. Anak (terutama anak laki-laki) akan semakin senang bermain sendiri / bersama temannya di luar rumah. Pada saat anak ini bermain, ia secara tak sadar sebenarnya sedang berusaha melepaskan ketergantungannya dengan ibunya di rumah, dan berdiri sendiri bersama teman-temannya di sekitar rumah. Seorang anak laki-laki di usia ini, jika masih memperlihatkan ketergantungan secara terang-terangan terhadap ibunya, malah merupakan hal yang tidak normal dan harus diwaspadai.
Di saat seorang anak masuk Sekolah Dasar, ia mengalami peralihan antara bermain dengan “bekerja”. Perkembangan yang terjadi selain berusaha berdiri sendiri, juga sudah mulai rasa tanggung jawab dan memiliki kewajiban terhadap tugas belajarnya di sekolah. Di sini peranan sekolah selain mengajarkan ilmu pengetahuan ,adalah memberi tugas-tugas yang merangsang perkembangan tanggung jawab dan rasa punya kewajiban . Tugas dari sekolah diarahkan untuk merangsang inisiatif dan kemampuan berusaha mengatasi masalah yang dihadapi. Kadangkala orang tua ingin memberikan anak suatu masa kanak-kanak yang menyenangkan, sehingga akibatnya mereka malah terlalu melonggarkan anak dari kewajiban dan tugas yang diberikan dari sekolah. Orang tua kadangkala malah mengajak anak bermain-main dan tidak mengharuskan si anak mengerjakan tugas sekolah. Ini malah berakibat anak tidak dapat belajar disiplin dalam mengerjakan sesuatu. Sering terjadi juga orang tua mengerjakan tugas sekolah si anak, dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan agar si anak tidak terlalu repot, atau agar si anak punya nilai yang bagus, dan lain sebagainya. Hal ini tidaklah baik, sebab malah akan mengakibatkan si anak terhambat perkembangannya.
Selain itu, anak juga akan mulai banyak bergaul dengan teman sebayanya. Mulanya ia akan tetap berbaur dengan laki-laki dan perempuan, tapi lama-kelamaan mereka akan berkelompok sejenis. Anak laki-laki akan banyak melakukan aktifitas yang dilarang, misalnya bermain di tempat yang dilarang. Hal ini mereka lakukan karena mau menunjukkan sikap jantannya. Hal ini tidak perlu menjadi kekuatiran yang berlebihan selama kenakalan mereka tidak keterlaluan dan tidak membahayakan. Akan tetapi tentunya juga tidak berarti orang tua bisa melepas begitu saja.
Perkembangan psikologi yang normal selama masa remaja, meliputi 4 aspek . Pertama adalah kemampuan emosional untuk terlepas dari keluarga dan mampu menerima tanggung jawab. Kedua, perkembangan seksual dan nilai moralitas. Di sini selain pematangan fungsi seksual dari organ tubuh, juga pematangan akan nilai-nilai seksualitas. Ketiga, menemukan keinginan dan minat yang ada dalam dirinya dan usaha pencapaiannya. Dan yang keempat, adalah menemukan jati diri (ego) yang sebenarnya.
Pada tahap ini terjadilah proses pematangan seksual. Selain secara fisik, juga secara mental. Perilakunya akan semakin menunjukkan ciri-ciri kelakuan anak laki atau perempuan dalam pergaulannya, terutama dalam pergaulan dengan lawan jenis.
Pada masa awal remaja, anak sering membandingkan diri dengan teman-teman sebayanya. Tingkah laku dari orang yang mereka jadikan model atau idola, akan mereka tiru dan ikuti. Rasa ingin tahu tentang hal seksual akan meningkat, dan biasanya mereka mencari segala sumber untuk mengetahuinya. Peran orang tua dan sekolah dalam hal ini adalah untuk memberikan sex education yang benar, sehingga anak mendapat informasi yang benar tentang seksualitas. Dari segi hubungan sosial dengan dunia sekitarnya, anak akan mulai menyadari kedudukan dan status orang tua dalam masyarakat. Dengan berinteraksi dengan masyarakat, anak melihat bagaimana orang lain memandang dirinya dan keluarganya. Dari sini ia akan belajar untuk membentuk dan memahami identitas sosialnya.
Pada saat ini orang tua sebaiknya memperhatikan apakah anaknya memiliki perilaku yang sesuai dengan kelaminnya. Pada saat ini diperlukan petunjuk dan bimbingan dari orang tuanya tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma –norma ini tidak hanya untuk masalah seksual saja, tetapi juga untuk sopan santun dan norma-norma dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam masa pertengahan remaja (15-16 tahun) anak mulai memperhatikan penampilan dirinya. Ia mulai merisaukan tentang body image-nya. Anak ingin lebih bebas dalam memilih aktifitasnya, dan menerima tanggung jawab yang lebih besar. Minat akan aktifitas tertentu akan lebih menonjol, dan anak mulai menemukan kegemaran-kegemarannya. Rasa ingin tahu, khususnya tentang seksualitas semakin besar, dan mereka saling berbagi informasi tentang hal ini, entah benar atau salah. Dalam hubungan sosial, anak lebih berani untuk interaksi dengan lingkungannya, dan mengatasi isolasi emosional. Ia akan berusaha mengatasi ketakutan terhadap penolakan oleh lingkungan dan menjadi akrab dengan teman yang paling dipercayanya. Dalam masa ini, pengaruh teman dan kelompoknya jauh lebih besar dari pada pengaruh orang tua. Anak akan jauh merasa lebih nyaman untuk berada dalam lingkungan teman-teman sebayanya, ketimbang berada dekat dengan orang tuanya. Kematangan emosional juga mulai berkembang, misalnya dengan mampu berbagi perasaan dengan teman – teman akrabnya.
Orang tua memberi peranan penting dengan mulai memberikan persamaan hak pada anak. Ini sangat penting bagi proses akhir keseimbangan antara ketergantungan dan kemampuan berdiri sendiri. Dengan perlahan menghapus kedudukan anak yang lebih rendah, anak akan semakin berkembang karena ia juga akan memperoleh ruang yang lebih luas untuk berkembang dan berdiri sendiri, menerima tanggung jawab dan kewajiban. Seorang remaja ingin mencoba segala sesuatu, mencoba membuat keputusan sendiri, dan mereka perlu diberi kesempatan membuat kesalahan. Di sini masa kecilnya banyak memberi pengaruh. Jika pada usia kecilnya ia banyak mengalami kegembiraan, persahabatan, dan kesuksesan, ia akan menjalani masa remaja dan dewasa dengan penuh percaya diri. Sebaliknya bila masa kecilnya ia tidak pernah menerima penghargaan atas usahanya, ia bisa menjadi rendah diri dan kurang percaya diri.
Pubertas berasal dari kata pubercere yang artinya menjadi matang. Sedangkan adolesen berasal dari kata adolescere yang berarti menjadi dewasa. Proses ini sudah pasti akan menimbulkan konflik. Orang tua sebaiknya tidak usah takut akan konflik ini, selama konflik tak hebat dan tidak mengarah pada perpecahan anggota keluarga. Yang perlu diingat adalah konflik hanyalah aspek yang diperlukan dalam perkembangan anak yang sehat. Malahan, jika sama sekali tidak dijumpai adanya konflik, orang tua harus curiga jangan-jangan si anak hanya pura-pura mampu berdiri sendiri.
Anak juga akan lebih terikat dengan teman sebayanya, dalam kelompok tertentu. Mereka merasa lebih aman dan memperoleh kepastian akan eksistensi dirinya. Sebenarnya dalam tahap inipun mereka bukannya tidak tergantung sama sekali dengan orang lain, mereka masih tergantung dengan orang tua dan teman-temannya dalam kadar tertentu. Perkembangan akan kemampuan diri sendiri di sini meliputi berbagai aspek, termasuk ilmu pengetahuan, moral, emosional, dan berbagai macam lainnya.
Akhir masa remaja, keinginan untuk keluar dari lingkungan rumah menjadi semakin besar lagi. Mereka semakin terdorong dengan keinginan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di tempat lain, atau bekerja di tempat yang baru. Dalam bersosialisasi mereka umumnya sudah cukup nyaman dengan kemampuan dirinya dan sudah mulai menemukan identitas dirinya. Dalam berinteraksi dengan orang lain bahkan mereka sudah berani untuk lebih serius, misalnya dengan menjalin hubungan dengan lawan jenisnya dalam bentuk berpacaran.
Dalam diri anak bagaimanapun akan masih terjadi pertentangan antara keinginan berdiri sendiri dengan masih ingin berada dalam naungan orang tua. Anak sering mengalami kekuatiran apakah dirinya sudah cukup siap untuk mengambil sebuah keputusan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Di sini orang tua harus tetap memberinya arah , bimbingan, dan tetap membukakan pintu selebar-lebarnya bagi anak bila ia membutuhkan bantuan orang tua……namun tetap harus ingat untuk tidak lagi memperlakukan anak yang sudah dewasa sebagai anak kecil
Majalah 'Anakku' ed.4, thn 2000.